Soldier Of Allah - Indonesia
Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.


Soldier Of Allah adalah Team Pembela Islam
 
IndeksPortalLatest imagesPencarianPendaftaranLogin

 

 Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik

Go down 
PengirimMessage
abu adam

abu adam


Jumlah posting : 43
Join date : 07.04.10
Lokasi : Diatas Bumi Dibawah Langit

Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik Empty
PostSubyek: Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik   Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik EmptySun Apr 18, 2010 11:17 pm

Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik Bismib

Penjelasan tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir dalam front fisik termasuk hal yang terpenting dalam masalah jihad ini. Telah tercatat dalam sejarah dari masa ke masa, kebanyakan orang yang salah melangkah dalam masalah jihad adalah disebabkan oleh ketidakpahaman mereka tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir di front fisik ini. Dan ini adalah suatu ketergelinciran yang sangat besar, padahal pembagian tersebut sangatlah jelas dalam buku-buku fiqih yang menerangkan tentang masalah jihad, dan pembicaraan para ulama dalam masalah jihad semenjak dahulu hingga sekarang tidak keluar dari pembagian tersebut.

Jihad melawan orang-orang kafir secara fisik terbagi dua :

Pertama : Jihad thalab atau jihad hujum (jihad menyerang). Yaitu kaum muslimin yang memulai menyerang orang-orang kafir setelah memberikan kepada mereka tawaran masuk Islam atau membayar jizyah (upeti).

Dalil-dalil tentang hal ini jelas dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu tatkala beliau berada di Madinah, beliau mengirim pasukan dan bala tentara untuk menyeru manusia ke dalam Islam, dimana pengobaran peperangan dibangun di atas hal tersebut. Bahkan beliau menegaskan,

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Saya diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa “Tiada yang berhak diibadahi selain Allah dan sungguh Muhammad adalah Rasul Allah”, menegakkan sholat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut maka terjagalah darah dan harta mereka kecuali dengan Islam dan hisab mereka disisi Allah.” [1]

Ini adalah nash yang sangat tegas tentang disyari’atkannya jihad hujum. Dan sejumlah ayat dan hadits yang telah berlalu penyebutannya, juga termasuk nash umum yang menganjurkan untuk menegakkan jihad hujum ini.

Dan jihad hujum ini hanya disyari’atkan bila terpenuhi tiga syarat [2] :

1. Dipimipin oleh seorang kepala negara.

2. Mempunyai kekuatan yang cukup.

3. Kaum muslimin mempunyai wilayah/negara kekuasaan

Adapun syarat pertama,

Telah dijelaskan dalam sejumlah dalil bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang Imam (pemimpin) muslim. Diantara dalil-dalil tersebut, adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَمَنْ يُطِعِ الْأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ يَعْصِ الْأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” [3]

Berkata Imam An-Nawawy (w. 676 H) menjelaskan hadits di atas, “Makna “seorang pemimpin adalah tameng” yaitu bagaikan tirai (pelindung), karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin, dan menahan sebagian manusia (untuk berlaku jelek) terhadap sebahagian yang lain, dan ia menjaga kehormatan Islam, dan dia ditakuti oleh manusia, serta manusia takut terhadap kekuasaannya. Dan makna “dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” [4]

Dan berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin dan menahan gangguan sebahagian manusia terhadap sebahagian yang lainnya. Dan yang diinginkan dengan imam disini adalah setiap orang yang bertanggung jawab terhadap segala urusan manusia.” [5]

Dan dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِيْ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا كُنَّا فِيْ جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيْهِ دَخَنٌ قَلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُوْنَ بِغَيْرِ هَدْيِيْ تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوْهُ فِيْهَا قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُوْنَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِيْ إِنْ أَدْرَكَنِيْ ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجْرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

“Manusia bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan ane bertanya kepada beliau tentang kejelekan, ane khawatir kejelekan itu akan menimpaku, maka ane berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam kejahiliyahan dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?” Beliau menjawab : “Iya.” Kemudian ane bertanya, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan,” Beliau menjawab, “Iya, dan telah ada asapnya.” ane bertanya, “Apakah asapnya?” Beliau menjawab, “Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain dari petunjukku, ada yang engkau anggap baik dari mereka dan ada yang engkau ingkari.” Kemudian ane bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan.” Beliau menjawab, “Iya, da’i –da’i yang menyeru ke pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menjawab seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya.” ane berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkanlah mereka kepada kami?” Beliau menjawab : “Mereka adalah dari kulit kita juga dan berbicara dengan lisan-lisan kita.” ane berkata : “Apa perintahmu kepadaku jika ane mendapati hal tersebut?” Beliau bersabda : “Engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.” ane berkata : “Jika kaum muslimin tidak mempunyai jama’ah dan imam.” Beliau berkata : “Tinggalkan seluruh firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dan engkau di atas hal tersebut.” [6]

Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang muslim harus komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. Maka orang yang keluar berjihad tanpa disertai imam atau tidak mendapatkan izin dari imam kaum muslimin maka ia dianggap telah keluar dari jama’ah kaum muslimin dan imam mereka dan jihad tersebut terhitung jihad bid’ah yang tidak disyari’atkan.

Karena itulah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau diajak untuk melepaskan baitnya dari pemerintahan Yazîd bin Mu’awiyah dan membait Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah, beliau menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan ghodar (melanggar penjanjian) dan beliau berdalil dengan hadits,

يُرْفَعُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنٍ

“Diangkat bagi setiap orang yang ghodar bendera pada hari kiamat, dikatakan : “Inilah ghodarnya si fulan”.” [7]

Dan para ulama telah sepakat bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang pemimpin muslim.

Berkata Ibnu Qudamah (w. 620 H), “Dan perkara jihad kembali kepada seorang imam (pemimpin) dan ijtihadnya, dimana rakyat wajib taat kepadanya pada apa yang ia pandang dalam hal tersebut.” [8]

Dan diantara keyakinan dalam agama yang disepakati oleh para ulama dan dianggap tersesat orang yang menyimpang darinya menurut Imam Ahmad (w. 241 H), “Dan (kewajiban) berperang bersama para penguasa –yang baik maupun fajir- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidak ditinggalkan (sama sekali).” [9]

Dan Imam Ath-Thahawy (w. 321 H) menyatakan dalam penjelasan aqidah beliau yang masyhur, “Adapun haji dan jihad bersama penguasa kaum muslimin –yang baik maupun fajirnya- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidaklah dibatalkan oleh suatu apapun dan tidak ada yang menggugurkannya.” [10]

Juga Imam Al-Muzany (w. 264 H), murid Imam Asy-Syafi’iy, menjelaskan bahwa diantara hal yang disepakati oleh para ulama terdahulu hingga masa beliau, “Dan jihad itu bersama setiap pemimpin yang adil maupun yang jahat, (demikian halnya) ibadah haji.” [11]

Dan bekata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) berpendapat (wajibnya) menegakkan haji, jihad dan (sholat) jum’at bersama para penguasa, yang baik maupun yang fajir.” [12]

Dan berkata Imam besar dan ahli fiqih di zaman ini, Syaikh Muhammad bin Shôlih Al-‘Utsaimin (w. 1421 H), “Tidak boleh suatu pasukan mengobarkan peperangan kecuali denga izin dari imam, bagaimanapun keadaan yang terjadi. Sebab yang diperintah untuk menegakkan perang dan jihad adalah para penguasa, bukan individu manusia. Individu manusia hanyalah ikut kepada pihak yang berwenang (Ahlul halli wal ‘aqdi). Maka tidak seorangpun boleh melakukan perang tanpa seizin imam kecuali hanya dalam rangka membela diri, (yaitu) apabila musuh menyerang secara tiba-tiba, dan mereka khawatir kebinasaan karenanya, maka ketika itu mereka membela diri-diri mereka dan wajib mengobarkan peperangan.

Sesungguhnya (berperang tanpa pemimpin) tidak diperbolehkan karena perkara (jihad) tergantung pada seorang imam, maka berperang tanpa izinnya adalah melanggar dan melampaui batasan-batasannya. Andaikata dibolehkan bagi manusia untuk berperang tanpa izin imam maka akan terjadi kekacauan, siapa saja yang ingin (berperang) maka ia akan menunggangi kudanya dan berperang. Dan andaikata manusia diberi kelapangan dalam hal tersebut maka akan terjadi kerusakan-kerusakan yang besar. Mungkin akan terjadi sekelompok manusia (yang nampaknya) bersiap untuk memerangi musuh dan ternyata mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap penguasa atau mereka hendak melakukan kesewenang-wenangan terhadap sekelompok manusia, sebagaimana firman (Allah) Ta’ala,

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujarat : 9)

Karena tiga alasan ini dan juga alasan-alasan lainnya maka tidaklah boleh melakukan perang kecuali dengan seizin imam.” [13]

Demikianlah sedikit keterangan dalam masalah ini, yang menunjukkan bahwa para ulama sama sekali tidak membenarkan penegakan jihad hujum tanpa seizin imam. Hal ini merupakan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dimana tidak pernah ternukil dalam sepotong riwayat pun bahwa para shahabat menegakkan jihad tanpa seizin Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang merupakan Imam mereka, baik di fase Makkah maupun fase Madinah.

Maka kami tegaskan disini, siapa yang keluar dari jalan ini, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dan bersiaplah menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)

Dan juga kami tegaskan berdasarkan keterangan-keterangan yang telah lalu bahwa “Tidak ada jihad di bawah bendera kafir” dan “Tidak ada jihad tanpa bendera seorang pemimpin muslim”.

[1] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 25 dan Muslim no. 22. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 1399, 2946, 6924, 7284, Muslim no. 20, 21, Abu Daud no. 1556, 2640, At-Tirmidzy no. 2611, 2612, An-Nasa`i 5/14, 6/4-5,7, 7/77-79 dan Ibnu Majah no. 71, 3927 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan juga dikeluarkan oleh Muslim no. 21 dan Ibnu Majah no. 3928 dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, serta dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 392, Abu Daud no. 2641-2642, At-Tirmidzy no. 2613 dan An-Nasa`i 6/6, 7/75-76 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Thoriq bin Asy-yam radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 23. Dan Al-Kattani menyebutkannya sebagai hadits mutawatir dalam Nazhmul Mutanatsir Min Al-Ahadîts Al-Mutawatir hal. 50-51.

[2] Dari kitab Mujmal Masa`il Al-Îman Al-‘Ilmiyah fii Ushul Al-‘Aqîdah As-Salafiyah hal. 31 (Penerbit Markaz Al-Imam Al-Albany, Amman, cet. pertama 1421 H / 2000 M) oleh Markaz Al-Imam Al-Albany. Dan kitab ini telah dibaca oleh sejumlah ulama, diantaranya; Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Syaikh Prof. DR. Rabî’ bin Hadi Al-Madkhaly, Syaikh Sa’ad Al-Hushoyyin, Syaikh DR. Husain alu Asy-Syaikh, Syaikh DR. Washiyyullah ‘Abbas, Syaikh DR. Muhammad bin ‘Umar Ba Zamul, Syaikh DR. ‘Abdussalam Barjis, Syaikh DR. Muhammad bin Hadi Al-Madkhly dan lain-lainnya.

[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155.

[4] Syarah Muslim 12/230.

[5] Fathul Bari 6/136.

[6] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3606 dan Muslim no. 1847.

[7] Telah berlalu takhrijnya pada hal. .

[8] Al-Mughny 13/16.

[9] Ushulul Sunnah.

[10] Al-‘Aqîdah Ath-Thahawiyah hal. 437 -dengan syarh Ibnu Abil ‘Izzi dan tahqîq Al-Albany-.

[11] Syarhus Sunnah karya Al-Muzany hal. 88.

[12] Majmu’ Al-Fatawa 3/158.

[13] Syarhul Mumti’ 8/25-26.

http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik.html
Kembali Ke Atas Go down
http://jihadbukankenistaan.com/
abu adam

abu adam


Jumlah posting : 43
Join date : 07.04.10
Lokasi : Diatas Bumi Dibawah Langit

Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik Empty
PostSubyek: Re: Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik   Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik EmptyMon Apr 19, 2010 12:53 am

Adapun syarat kedua, yaitu mempunyai kekuatan,

Hal tersebut merupakan perkara yang telah dimaklumi dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Sebagaimana dalam firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An-Nisâ` : 71)

Dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan :

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)

Hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :

سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : وَأَعِدُّوْا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ, أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ أَلاَ إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ

“Saya mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan beliau berada di atas mimbar membaca (ayat) “Dan siapkanlah kekuatan yang kalian punyai untuk menghadapi mereka.” (beliau berkata) : “Ingatlah kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik.” [1]

Beberapa dalil di atas menunjukkan bahwa disyaratkan adanya kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad. Kapan syarat ini tidak terpenuhi, maka gugurlah kewajiban jihad tersebut terhadap kaum muslim hingga mereka mempunyai kekuatan.

Keharusan memiliki kemampuan dalam menjalankan suatu ‘ibadah merupakan kaidah yang dimaklumi dalam syari’at dan telah menjadi dasar wajib untuk ditegakkannya suatu ‘ibadah.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)

“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Tholâq : 7)

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghôbun : 16)

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda :

فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah (sesuatu tersebut), dan apabila aku memerintah kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah hal itu sesuai dengan kemampuan kalian.” [2]

Berdasarkan nash-nash ini, telah digugurkan atas kaum muslimin kewajiban menghadapi musuh kalau jumlah mereka tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah kaum muslimin, sebagaimana yang telah dijelaskan. Maka dalam keadaan tersebut tidak diwajibkan terhadap kaum muslimin untuk menghadapi musuh, karena sifat jihadnya adalah jihad hujûm.

Adapun kejadian pada perang Uhud dan perang Khandaq, dimana kaum muslimin menghadapi kaum kuffar dengan jumlah yang jauh lebih besar dan berlipat ganda, hal tersebut bukanlah jihad hujûm yang merupakan kehendak mereka, tapi jihad tersebut adalah jihad membela diri yang sifatnya darurat untuk menghadapi serangan musuh yang ingin menghancurkan kaum muslimin di negara mereka.[3] Dan jihad seperti ini adalah jihad mudâfa’ah yang akan datang uraian dan penjelasannya.

Kemudian diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,

…فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ، إِذْ أَوْحَى اللهُ إِلَى عِيْسَى: إِنِّيْ قَدْ أَخْرَجْتُ عِبَاداً لِيْ لَا يَدَانِ لِأَحَدٍ بِقِتَالِهِمْ، فَحَرِّزْ عِبَادِيْ إِلَى الطُّوْرِ وَيَبْعَثُ اللَّهُ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ وَهُمْ مِنْ كُلِّ حَدَبٍ يَنْسِلُونَ …

“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” [4]

Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.

Bertolak dari syarat harusnya ada kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad, para ulama dari masa ke masa memberi fatwa di atas hal tersebut.

Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi mereka karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad. Kemudian tatkala beliau lebih kuat maka diwajibkanlah perang terhadap mereka walaupun belum diwajibkan atas mereka memerangi orang-orang yang mereka (kaum muslimin) terkait perdamaian dengannya, karena mereka belum mampu untuk memerangi seluruh orang kafir. Kemudian tatkala Allah menjadikan Makkah takluk terhadap mereka dan telah terputus perlawanan orang-orang Quraisy, sementara itu raja-raja Arab serta berbagai utusan (kabilah-kabilah) Arab berdatangan untuk masuk Islam, maka beliau diperintah untuk memerangi seluruh orang kafir kecuali yang ada perjajian damai sementara, dan beliau diperintah untuk melepas seluruh perdamaian mutlak. Maka yang beliau angkat dan beliau hapuskan adalah meninggal perang.” [5]

Dan beliau juga berkata, “Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok bughôt disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemapanan. Memerangi mereka tidaklah lebih pantas dari memerangi kaum musyrikin dan kuffar. Dan sudah dimaklumi bahwa hal tersebut disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemungkinan. Dan kadang yang menjadi mashlahat syar’iy adalah melembutkan hati mereka dengan harta, perdamaian dan perjanjian tidak saling perang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi (shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) berulang kali.” [6]

Dan Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’dy rahimahullâh ketika menafsirkan ayat 190-193 dari surah Al-Baqarah, beliau berkata, “Ayat-ayat ini terkandung di dalamnya perintah untuk berperang di jalan Allah. Dan hal ini setelah hijrah ke Madinah, tatkala kaum muslimin telah memiliki kekuatan untuk berperang, maka Allah memerintah mereka dengannya, yang sebelumnya mereka diperintah untuk menahan tangan-tangan mereka.”

Dan Al-Lajnah Ad-Dâ`imah mengeluarkan fatwa dengan nash, “Jihad adalah untuk meninggikan kalimat Allah dan penjagaan terhadap Islam, serta untuk memapankan penyampaian, penyebaran dan penjagaan terhadap kehormatan (Islam). (Ia) wajib bagi siapa yang mapan untuk hal tersebut dan kuat untuk (menegakkannya). Akan tetapi (jihad ini) butuh pengiriman pasukan dan pengaturan. Karena kekhawatiran munculnya kekacauan dan terjadinya hal-hal yang tidak terpuji akibatnya, maka permulaan (jihad itu) dan awal memasukinya adalah merupakan urusan penguasa kaum muslimin. Maka diwajibkan bagi ulama untuk membangkitkan semangat (penguasa) untuk (menegakkan) jihad tersebut. Apabila (penguasa) telah memulai dan menyeru kaum muslimin, maka wajib bagi siapa-siapa yang punya kemampuan untuk memenuhi seruan tersebut dengan mengikhlashkan wajahnya hanya untuk Allah, dengan harapan ia menolong kebenaran dan menjaga Islam. Siapa yang tidak hadir sedangkan telah ada seruan dan tidak memiliki udzur maka ia adalah seorang yang berdosa.” [7]

Dan berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, “Dalam (jihad) harus ada suatu syarat, yaitu hendaknya kaum muslimin mempunyai kemampuan dan kekuatan yang dengannya mereka mampu menegakkan perang. Kalau mereka tidak mempunyai kemampuan maka menerjunkan diri mereka dalam peperangan adalah melemparkan diri kepada kebinasaan. Karena itu, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak mewajibkan terhadap kaum muslimin untuk berperang ketika mereka masih berada di Makkah, karena mereka tidak mampu lagi lemah. Tatkala mereka hijrah ke Madinah dan mereka menegakkan negara Islam dan mereka telah memiliki kekuatan, merekapun diperintah untuk berperang. Karena syarat merupakan sesuatu yang harus ada. (Kalau tidak terpenuhi) maka gugurlah kewajiban atas mereka sebagaimana halnya seluruh kewajiban (lain). Karena seluruh kewajiban disyaratkan padanya kemampuan berdasarkan firman-Nya Ta’âlâ,

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghôbun : 16)

Dan firman-Nya,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286).” [8]

Dan diantara hal yang sangat penting yang harus kami ingatkan disini, bahwa selain dari menyiapkan kekuatan fisik, kaum muslimin juga harus menyiapkan kekuatan iman dalam menegakkan jihad tersebut.

Mempersiapkan kekuatan batin adalah dengan membersihkan diri dari segala noda kesyirikan dan menanamkan benih-benih tauhid serta mengikhlaskan segala jenis peribadatan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Bagaimana mungkin kaum muslimin mengharapkan pertolongan dari Allah dalam jihad mereka, sedang mereka berlumpur dengan noda-noda kesyirikan?

Sedang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyatakan kepada Nabi-Nya,

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar : 65)

Bagaimana mungkin mengharapkan kemulian dan kejayaan sedang mereka bergelimang dengan dosa dan maksiat?

Cermatilah pelajaran yang diabadikan dalam Al-Qur`ân tentang sebab kekalahan kaum muslimin di perang Uhud,

“Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kalian berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Âli ‘Imrân : 165)

Berkata Ibnu Jarîr Ath-Thobary (w. 310 H) rahimahullâh, “(Firman-Nya) “kalian berkata: Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” yaitu kalian berkata tatkala kalian tertimpa musibah di perang Uhud “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” (yaitu) dari sisi mana kekalahan ini, dan dari mana terjadinya apa yang menimpa kami, sedang kami adalah muslimun dan mereka itu orang-orang musyrikun, sedangkan pada kami ada Nabi Allah shollallâhu ‘alaihi wa sallam yang mendapat wahyu dari langit dan musuh kami adalah pengikut kekufuran dan kesyirikan kepada Allah? Maka katakan wahai Muhammad kepada orang-orang yang beriman bersamamu dari kalangan shahabatmu “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”, katakan kepada mereka, bahwa musibah yang menimpa kalian adalah dari kesalahan diri-diri kalian karena kalian menyelisihi perintahku dan kalian meninggalkan ketaatan kepadaku, (musibah tersebut) bukan dari selain kalian, dan bukan dari seorangpun selain kalian.” [9]

Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Kapan orang-orang kafir memperoleh kemenangan, maka hal tersebut hanyalah karena dosa-dosa kaum muslimin yang berakibat kurangnya keimanan mereka. Kemudian kalau mereka bertaubat dengan menyempurnakan keimanan mereka, maka Allah akan menolong mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Ta’âlâ,

“Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Âli ‘Imrân : 139)

Dan (Allah) berfirman,

“Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kalian berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”.” (QS. Âli ‘Imrân : 165).” [10]

Dan berkata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullâh, “Dan demikian pula pertolongan dan kekuatan yang sempurna, hal tersebut hanyalah untuk pemilik keimanan yang sempurna. (Allah) Ta’âlâ berfirman,

“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Ghôfir : 51)

Dan (Allah) berfirman,

“Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. Ash-Shoff : 14)

Maka siapa yang kurang keimanannya, akan kurang bagiannya dari pertolongan dan kekuatan (itu). Karena itu apabila seorang hamba mendapatkan musibah pada dirinya, keluarganya, atau musuhnya dimenangkan atasnya, maka hal tersebut semata karena dosanya, apakah karena meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu hal yang diharamkan, dan itu termasuk kekurangan iman.” [11]

[1] Hadits riwayat Muslim no. 1917, Abu Dâud no. 2514, At-Tirmidzy no. 3092 dan Ibnu Mâjah no. 2813 dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu.

[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 7288, Muslim no. 1337, An-Nasâ`i 5/110 dan Ibnu Mâjah no. 1, 2.

[3] Baca keterangan Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Al-Furûsiyah hal. 97.

[4] Hadits riwayat Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075.

[5] Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237.

[6] Majmû’ Al-Fatâwâ 4/442.

[7] Fatâwâ Lajnah 12/12 dengan ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Bâz sebagai ketua dan Syaikh ‘Abdurrazzâq ‘Afîfy sebagai wakil serta Syaikh ‘Abdulllah bin Qu’ûd dan Syaikh Abdullah bin Ghodayyân sebagai anggota.

[8] Syarhul Mumti’ 8/9-10.

[9] Jâmi’ul Bayân fii Tafsîrul Qur`ân 4/108.

[10] Al-Jawâb Ash-Shohîh 6/450.

[11] Ighôtstul Luhfân 2/182.

http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik-2.html
Kembali Ke Atas Go down
http://jihadbukankenistaan.com/
 
Pembagian JIHAD Melawan Kafir Secara Fisik
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1
 Similar topics
-
» Risalah Jihad (HAKIKAT JIHAD)
» [Tutorial] MERESET PASSWORD WORDPRESS SECARA PAKSA .
» Yang Menyangkal Terorisme Bagian Dari Islam Berarti Kafir
» Apa Perbedaan antara Jihad dan Terorisme???
» MERAIH KEMULIAAN DENGAN JIHAD

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
Soldier Of Allah - Indonesia :: SOA Akses Public :: Articel-articel-
Navigasi: